Popular posts

Randi Dwi Anggriawan On Rabu, 06 Maret 2013


Namaku Randi Dwi Anggriawan, aku dilahirkan oleh ayah yang berdarah suku Jawa dan Ibu berdarah suku Madura. Aku lahir di Jember tepat pada tanggal 1 Agustus 1991. Aku adalah anak ke-dua dari 4 bersaudara. Aku memiliki seorang kakak wanita, kini ia berada jauh di negeri orang, Arab Saudi, menjadi seorang Tenaga Kerja Wanita. Kehidupan masa kecilku begitu bahagia hingga aku mampu berangan-angan tinggi diluar jangkauanku, mungkin. Aku adalah anak yang periang dan suka membuat ulah. Terbukti aku masih mengingat bahwa ibuku sering menjewer telinga dan mencubit pinggulku. Namun ayah berbeda dengan ibu, beliau tak terlalu memperhatikan keangkuhan kecilku itu.

Aku memiliki keluarga besar yang beragam budaya dan bahasa mulai dari Bahasa Indonesia, Bahasa Madura, Bahasa Jawa, hingga Bahasa Sunda. Itu karena bibi dan pamanku yang berjumlah lima orang dan menikah dengan berbagai suku di pulau Jawa, sehingga keluarga kami menjadi keluarga yang unik karena beragam budaya ada didalamnya terlebih kami hidup berdampingan dan rumah kami bersebelahan.

Lulus dari SMA aku bercita-cita untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi, aku ingin kuliah, aku ingin seperti kawan-kawan yang lain yang memiliki kesempatan mengenyam pendidikan lebih tinggi lagi. Aku begitu iri dengan mereka yang dengan leluasa masuk Perguruan Tinggi sesuai dengan keinginan mereka, mereka bebas memilih. Namun aku harus mengurungkan niat itu lantaran tak punya biaya. Keadaan finansial keluargaku hanya mampu untuk kehidupan kami sehari-hari untuk makan dan membeli berbagai keperluan lainnya seadanya. Ayahku hanyalah seorang kuli bangunan yang pekerjaannya tak menetap, mengharap panggilan tetangga untuk diminta jasanya memperbaiki rumah mereka yang bermasalah seperti genteng bocor. 

Awalnya aku berkecil hati untuk melanjutkan kuliah setamat SMA, tak ada fikiran sedikitpun aku akan melanjutkan kuliah karena memang dalam benakku sudah terdoktrin bahwa aku adalah anak miskin yang tak akan mampu melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi yang memakan biaya yang tidak sedikit itu. Semua tetanggaku juga pesimis aku dapat meraih mimpi yang satu ini, begitu banyak keraguan dan ketidak yakinan mereka bahwa aku dapat kuliah seperti anak-anak yang lain. Sebenarnya aku begitu sakit hati mereka mengatakan hal-hal yang seharusnya tak aku dengar, karena tentu kata-kata yang meragukan itu semakin membawaku ke sisi yang terpojok dan jauh dari angan-angan kuliah.

Lambat laun guru-guru dan beberapa kawan mengingatkanku akan pemuda. Pemuda yang merubah nasibnya dari ketidakberdayaan menjadi pemuda yang tangguh dan berhasil menaklukkan dunianya, salah satunya dengan jalan kuliah. Kuliah adalah tempat menuju sebuah keberhasilan hidup, itu pikirku. Kawan-kawan begitu santainya mempersiapkan segalanya untuk masuk perguruan tinggi, namun aku hanya bisa terdiam dan rasanya ingin memberontak kepada orang tuaku yang tak sedikitpun mendukungku untuk maju ke medan ini. Tak tahan sebenarnya aku menjawab pertanyaan setiap guru yang mananyakan “kuliah dimana setamat SMA?” aku hanya bisa menjawab “tak tahu”.

Kucoba lagi untuk meyakinkan kedua orang tuaku bahwa aku bisa kuliah dan ayah dan ibu tak perlu merogoh saku untuk membiayaiku kuliah, aku akan mendapatkan beasiswa, beasiswa yang membebaskan segala tanggungan berat di perkuliahan nanti. Sudah kusodorkan informasi-informasi beasiswa kepada mereka berdua, ku sodorkan pula informasi-informasi sekolah kedinasan yang bebas biaya kuliah, mendapat uang saku bulanan pula. Namun mereka begitu keras kepalanya tak mengizinkanku untuk kuliah. Aku menangis dihadapan mereka, akupun berkata :

"Aku cuma ingin mengubah nasib keluarga kita, aku ingin mengangkat derajat ayah dan ibu, aku sudah bosan dengan keadaan kita yang seperti ini”, ayah dan ibu tetap keras kepala tak mau mendengarkanku. 

Ayah tahu kamu ingin mengubah nasib keluarga kita, ayah juga berterima kasih karena kamu ingin mengangkat derajat kami, namun dengan apa kami bisa menyekolahkan kamu ke perguruan tinggi? Kita tak punya apa-apa, kamu tahu sendiri kan penghasilan ayah cuma cukup untuk kita makan sehari-hari”, ayah berucap didepanku yang sedang terisak. 

Ibupun menambahkan “lagipula uang untuk kuliah itu mahal, informasi beasiswa yang kamu berikan memang betul, tapi tentunya kuliah tidak sepenuhnya gratis, nanti pasti akan ada biaya-biaya mendadak yang kami tak sanggup membayarnya” hatiku semakin menciut mendengarnya.

Akhirnya, kuputuskan untuk berjalan sendiri tanpa restu kedua orang tuaku, kupaksakan diri untuk mengikuti berbagai seleksi masuk perguruan tinggi, kupersiapkan segalanya dibelakang mereka berdua. Pertanyaannya sekarang, bagaimana aku bisa ikut seleksi masuk sedangkan formulir pendaftaran pun membutuhkan biaya yang cukup besar bagiku.

Suatu hari kuceritakan segala permasalahan kepada salah satu guru di sekolahku, Bapak Suroto. Beliau mendengar keluh kesahku dengan hati terbuka, dan beliau menolongku. Beliau adalah guru yang baik dimataku dan peduli serta menghormati tekad kami yang akan melanjutkan kuliah. Bapak Suroto memberiku bantuan mendaftar seleksi masuk perguruan tinggi, akupun bersyukur dan berterima kasih kepadanya.

Kumantapkan langkah selanjutnya, yaitu aku harus belajar giat agar aku tak mengecewakan Bapak Suroto dan kawan-kawan yang telah mensupportku. Akupun belajar setiap hari mempersiapkan ujian yang nanti akan aku hadapi, dirumah, ibu dan ayah sepertinya heran melihatku belajar terus-menerus sedangkan Ujian Akhir Nasional sudah lewat, aku hanya terdiam dan terus belajar membiarkan mereka berlalu-lalang didepanku, yang kupikirkan hanyalah berjuang dengan kaki sendiri.

Ujian semakin dekat, akupun semakin menambah porsi belajar dari pagi hingga malam, ibu dan ayah tetap terdiam meskipun batinku mengatakan bahwa mereka sudah mengetahui gerak-gerikku. Aku tetap melanjutkan belajar dan belajar, hingga waktunya tiba akupun menyelesaikan ujian masuk Perguruan Tinggi. Namun, ada hal lain yang mengganjal hati dan fikiranku, yaitu kegelisahan, hatiku tak tenang. Aku merasa was-was dan takut akan sesuatu yang sebenarnya akupun tak mengerti dari mana datangnya, lama aku berfikir. Mungkin ini karena kekurang lengkapan restu ayah dan ibu untuk menghadapi ujian masuk Perguruan Tinggi, akupun mencoba menepis fikiran itu, namun gagal.

Pengumuman hasil seleksi masuk diumumkan, ya, aku gagal. Semangatku mundur, aku menyadari betapa doa orang tua sangat dibutuhkan manakala anaknya sedang menghadapi suatu ujian, apapun ujian itu. Akupun pasrah dengan hasil yang tak memuaskan itu. Keberuntungan belum memihakku.

Bapak Suroto dan kawan-kawan mendukungku untuk tetap semangat dan bangkit lagi untuk memulai berperang kembali tahun depan, hanya 2 kunci yang menentukan, niat dan kesabaran.

Karena tak ada yang dapat kulakukan dirumah hanya terdiam dan tak tahu harus mengikuti seleksi yang mana lagi karena memang aku tak memiliki uang untuk mendaftar. Kuputuskan untuk mencari kerja.

Dua bulan setelah pengumuman seleksi masuk perguruan tinggi kuhabiskan kegiatan dirumah dengan mengajar les adik-adik tetangga termasuk adik-adik keponakan dan sepupu, karena dirumah begitu banyak anak kecil yang masih bersekolah Taman Kanak-Kanak, SD dan SMP, serta orang tua mereka menginginkan pelajaran tambahan diluar jam sekolah. Akupun mengajar mereka meskipun aku hanya mendapat bayaran seadanya, tapi aku menikmatinya. Yah, setidaknya aku memiliki pengalaman mengajar les.

Namun tak cukup sampai disitu, aku harus mengumpulkan uang lebih banyak untuk mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi berikutnya, ku coba kumpulkan uang hasil jerih payahku sendiri, karena aku tak yakin ayah dan ibu membantuku, dan tentu saja mereka belum merestui dan mengikhlaskan aku untuk berjuang masuk kuliah. Aku tetap bergerak dengan kaki dan tangan sendiri.

Disela-sela mengajar les, kucoba menulis surat-surat lamaran pekerjaan untuk beberapa instansi, beberapa menolakku dan beberapa pula menerimaku namun tetap gagal di seleksi masuk kerja, aku tetap menulis lamaran kerja dan kutujukan ke beberapa PT yang beroperasi di sekitar daerah Jember. Akhirnya salah satu PT menerimaku, yaitu sebuah toko swalayan yang lumayan besar di kota Jember. Akupun diterima kerja disana.

Di PT tersebut aku mengalami banyak pengalaman kerja yang sebelumnya tak terfikirkan olehku, ya, aku sempat menjadi mirip seorang babu yang bekerja di rumah majikan cerewet. Tapi tak mengapa, karena disana aku menemukan banyak teman baru yang menyenangkan. Bersama mereka kulewati dunia kerja yang mungkin tidak cocok untukku, aku menjadi pusat perhatian ditengah-tengah mereka lantaran aku adalah karyawan yang berpostur paling kurus dan berkulit paling gelap, dan tak lupa mereka menyamakanku dengan Presiden Amerika, Barack Obama. Mungkin karena perawakankku yang berkulit gelap agak kurus dan selalu berambut tipis keriting hingga membentuk kepalaku yang bulat simetris, mirip perawakan Presiden Amerika itu.

Ditengah-tengah kerja kusempatkan untuk membawa buku pelajaran ditempat kos, berat sebenarnya mengingat sudah beberapa bulan aku tak menyentuh buku pelajaran, bahkan nyaris lupa pelajaran apa saja yang pernah kudapatkan di SMA. Namun aku tak menyerah, kusempatkan sepulang kerja untuk belajar membuka-buka buku dan catatan lama.
Kemudian muncul kabar dari salah satu kawan dari Institut Pertanian Bogor bahwa Beastudi Etos membuka pendaftaran untuk mahasiswa baru tahun 2011. Kubaca baik-baik pengumuman itu dan kumantapkan hati untuk mencobanya, ya Beastudi Etos, insyAllah membuka jalan yang selama ini sulit kucari, sebelumnya aku juga mendaftar Bidik Misi, namun ternyata aku gagal lantaran tes kesehatan yang tidak lolos, mataku bermasalah sehingga aku sulit melewati tes kesehatan mata, ku pikir itulah penyebab aku tak lolos Bidik Misi, namun semangatku tak hilang, Beastudi Etos terus kulanjutkan.Dengan berbekal niat dan semangat aku tetap bersikeras untuk mencoba seleksi masuk perguruan tinggi, meskipun kadang aku teringat kegagalan tahun lalu lantaran tak direstui oleh kedua orang tuaku, aku sedikit takut.

Kontrak kerjaku semakin habis, namun pengumuman seleksi masuk perguruan tinggi masih satu bulan lagi, tiba-tiba ibu dan bibiku mengabarkan bahwa aku bisa melanjutkan kerja di Kalimantan dengan ikut salah saudara yang akan merantau kesana. Aku bingung dengan pernyataan itu karena keberangkatan ke Kalimantan dijadwalkan sehari sebelum pengumuman hasil seleksi masuk Perguruan Tinggi. Aku belum memberikan jawaban hingga waktu keberangkatan semakin dekat, ibu pun demikian semakin mendesakku untuk memberikan jawaban untuk ikut ke Kalimantan atau tidak karena pemesanan tiket pesawat juga harus cepat, dengan di desak seperti itu akupun menceritakan semuanya kepada bibi, tidak kuceritakan kepada ibu karena aku tahu pasti ibu tidak mengizinkan. Ku ceritakan kepada bibi sambil menangis bahwa aku saat ini sedang menunggu pengumuman hasil seleksi dan mengulang seperti tahun lalu. Kuceritakan bahwa selama kerja aku mengikuti beberapa seleksi masuk perguruan tinggi, sempat aku berbohong kepada keluargaku bahwa aku berangkat ke Surabaya untuk mengikuti suatu tes, yaitu tes tulis dan wawancara Beastudi Etos, keluargaku menganggap itu tes masuk kerja. Tetap kulanjutkan perjalanan ke Surabaya meski harus berbohong kepada keluarga karena aku hanya meyakini ini jalan yang benar bagiku. Tak ada pilihan lain, karena jika ibu dan ayah tahu aku mengikuti tes masuk perguruan tinggi tentu aku tak akan mendapat izin dari mereka. Kupesan kepada bibi untuk tidak menceritakan hal ini kepada kedua orang tuaku.

Akupun semakin bingung karena waktu keberangkatan semakin dekat, kucoba tenangkan diri dalam kamar dengan sholat Ashar dengan lampu remang-remang kupanjatkan doa kepada Allah meminta petunjuk jalan untuk masalah ini, akhirnya kuputuskan untuk berangkat saja ke Kalimantan. Ku pikir ini tidak ada salahnya, karena ada satu hal yang membuatku tertarik untuk berangkat ke Kalimantan, yaitu aku bisa menaiki pesawat terbang, ini merupakan salah satu dari daftar impian yang aku tulis, ya, naik pesawat terbang. Akupun tersenyum dalam hati.
Ku tunggu kabar keberangkatan ke Kalimantan yang ternyata di undur hingga keesokan harinya dengan hati yang tenang meski beberapa jam kemudian pengumuman hasil seleksi masuk perguruan tinggi diumumkan.

Tiba-tiba aku mendapat kabar yang sangat menggembirakan yang tak akan pernah kulupakan seumur hidup, ibu mengizinkan dan mengikhlaskanku untuk kuliah dan mendoakan kelulusanku. Aku begitu bahagia dan menangis dalam hati, rupanya bibi mengingkari janjinya padaku. Namun kumaafkan hal itu.

Dengan hati yang lapang dan siap menerima kegagalan ujian masuk seperti tahun lalu, akupun membuka pengumuman dan ternyata Allah pun mengabulkan doaku selama ini, aku lolos ujian masuk. Alhamdulillah….

Beastudi etos pun aku berhasil lolos hingga tahap ke-4 yaitu home visit, tinggal pengumuman ranking nasional, apakah aku masuk menjadi daftar 150 etoser seluruh Indonesia. Kembali aku diliputi tanda Tanya besar, apakah aku lolos hingga tahap akhir ini? Aku tetap berdoa akan kelancaranku.

Aku berhasil lolos dan diterima di Universitas Brawijaya, Malang. Aku diterima di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Ya, universitas yang masuk dalam daftar Universitas terbaik di Indonesia juga universitas yang direkomendasikan oleh Beastudi Etos. Lama aku menunggu pengumuman namun tak kunjung tiba, akupun menjadi terkatung-katung di kamar tak tahu harus kemana, sedangkan registrasi tahap pertama semakin mendekati hari terakhir. Sedang aku tak punya uang untuk membayar registrasi itu, mahal untuk ukuran keluargaku yaitu sebesar 1,8 juta Rupiah. Karena pengumuman etos tak kunjung datang akhirnya kuputuskan untuk nekat mengunjungi rektorat Universitas Brawijaya dan langsung meminta keringanan biaya, tiga kali sudah aku bolak-balik Malang-Jember selama seminggu dengan alasan kurangnya selembar surat keterangan bahwa ibu tidak bekerja, jarak antara Malang dan jember cukup jauh, 6,5 jam perjalanan. Aku terus bertekad dan kulakukan semampuku untuk mendapatkan kelayakan kuliah di universitas ini meski aku hanya seorang anak keluarga miskin.

Aku tak mempedulikan pengumuman etos lagi, karena tak ada kepastian akan datangnya hasil ranking nasional. Yang terbersit dalam benakku saat itu hanyalah tetap berjuang untuk kuliah sekalipun aku tak lolos Beastudi etos. Pendaftaran tahap pertama sudah kulalui, hanya saja biaya yang harus ku keluarkan diadakan penundaan hingga 3 bulan kedepan, aku harus berfikir keras untuk hal ini, bagaimana aku harus menutupi tanggungan ini? Kembali aku diliputi kebingungan.

Namun Allah telah menggariskan hidupku, aku tetap percaya bahwa Allah telah merencanakan sesuatu yang lebih indah lagi jika seandainya aku tak lolos. Ternyata, kesabaranku berbuah manis, aku mendapatkan pemberitahuan bahwa aku diterima sebagai Etoser Malang. Alhamdulillah… ku ucapkan puji syukurku kepada Allah yang telah memberiku kehidupan yang begitu indah. Selamat datang di ranah kehidupan yang akan penuh perjuangan…

Man Jada Wa Jada, Siapa yang Bersungguh-sungguh Dia Pasti Berhasil…

Man Shabara Zafhira, Siapa yang Bersabar Dia Pasti Beruntung...

{ 1 komentar... read them below or add one }

  1. bagaimana penulis merefleksikan atau menanggapi pengaitan dengan nama panggilan ini, dan wawasan apa yang ditawarkan postingan tersebut mengenai identitas atau konteks budaya penulis? Greeting : Telkom University

    BalasHapus